Pro-Kontra Iklan Politik Yang Memanen Keuntungan
Posted November 20, 2008
on:Beberapa waktu terakhir kita sering menonton acara debat dan dialog di beberapa tv swasta mengenai iklan politik yang dipasang di tv. Tema yang sedang hangat dibahas sekarang adalah iklan PKS yang menampilkan beberapa tokoh di antaranya Soekarno, Soeharto, Hasyim Asyhari, KH. Ahmad Dahlan, Natsir, Hamka dan Hatta. Sepintas tiada yang janggal dalam iklan itu karena semua tokoh itu terlepas dari kekurangan dan kelebihan masing-masing mempunyai sejarah dan pelajaran tersendiri bagi Bangsa Indonesia. Namun ketika nama Soeharto disebut sebagai salah satu guru bangsa dan pahlawan, semua orang yang pernah bersinggungan nama terakhir ini teriak.
Masih lekat dalam ingatan kita ketika wafatnya mantan presiden terlama dalam sejarah RI hingga saat ini, semua menyatakan empati dan dukanya. Hal ini wajar karena dari sisi kemanusiaan Soeharto adalah manusia biasa yang sudah meninggal, yang seharusnya tidak usah disebut lagi keburukannya. Bukankah agama mengajarkan demikian? Saat itu tidak ada yang teriak dengan santer untuk mengutuk dan mengecam Soeharto, melainkan segelintir orang yang secara langsung pernah bermasalah dengan mantan orang nomor satu baik secara hukum, maupun kebijakan yang salah. Sebagian besar adem ayem saja.
Namun kini ketika ada iklan yang membangun opini bahwa Soeharto adalah Pahlawan dan Guru Bangsa teriakan itu terdengar lagi. Berbagai organisasi yang jarang diketahui namanya tiba-tiba muncul dan lantang menentangnya. Boleh jadi NU dan PKB agak meredam protesnya karena iklan PKS telah ‘mengambil’ icon mereka yaitu KH Hasyim Asyhari. Boleh jadi pula orang-orang Muhammadiah agak mengecilkan volume protesnya karena toko mereka ‘dicatut’ dlam iklan ini, namun tidak bagi orang-orang yang anti Soeharto. Dengan alasan status hukum Soeharto belum selesai karena secara perdata akan diteruskan kepada keluarga dan kroni-kroninya, mereka menolak Soeharto dijadikan guru bangsa apalagi pahlawan bangsa. Tentu saja ini menjadi berita yang menarik bagi media elektronik sebagai jualan yang laku.
‘Mungkin’ PKS telah berpikir matang dengan iklan yang mereka buat, bahkan atau dengan sengaja membuat iklan itu karena ketika menjadi konflik seperti sekarang ini, iklan mereka yang menghabiskan dana 2 milyar (kabarnya begitu) dan hanya berdurasi 30 detik sekali tayang memanen keuntungan. Bayangkan dengan banyaknya perdebatan tentang isi iklan, masyarakat jadi ingin tahu lebih jauh materi iklannya. Padahal kalau tidak menjadi pro-kontra bisa jadi tidak ada yang ambil pusing dengan iklan itu. Bayangkan pula dengan pro-kontra ini, banyak dialog yang membahas ini di televisi bukankah ini merupakan iklan gratis dengan durasi panjang?
Hanya saja PKS kelihatan sibuk membuat argumen yang bisa diterima semua pihak, misalnya isyu rekonsiliasi, isyu mengambil pelajaran dari berbagai tokoh dan rezim dan sebagainya. Kelihatan agak dibuat-buat memang, karena jika isyu rekonsiliasi dengan durasi singkat dan ditayangkan di media TV kesannya tidak tepat sasaran. Tapi ketika isyu mengambil pelajaran dari berbagai tokoh sebagai sintesa beberapa orde ini lebih bisa diterima akal. Terlepas dari alasan apapun yang dibuat, atau maksud apa yang tersembunyi di balik iklan ini, terobosan PKS adalah langkah cerdas. Masalah momentum Hari Pahlawan yang ditunggangi untuk kepentingan pemilu 2009 adalah hal yang wajar dan lumrah saja. Namun kebesaran hati kita untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari tokoh manapun dengan zamannya masing-masing harus kita biasakan.
Tinggalkan komentar